Aku adalah seorang pria single fighter, sebenarnya statusku saat ini
adalah seorang duda. Aku mengaku seorang pria single fighter dikarenakan
aku sekarang sudah tidak beristri lagi. Aku dahulu seorang suami yang
sangat bahagia karena aku mempunyai seorang istri yang cantik dan begitu
sayang kepadaku. Di istanaku saat itu tinggal aku, istriku, ibu
mertuaku dan seorang pembantu perempuan. Sebelum aku menceritakan kisah
dilema mahligai rumah tanggaku, aku ingin menceritakan tentang
pengalamanku dengan sekretarisku. Sebut saja namaku Hendi, usiaku saat
ini baru menginjak 28 tahun. Profesiku Presiden Direktur, tentu saja di
perusahaanku sendiri. Aku tinggal di perumahan Kelapa Gading.
Pada suatu ketika perusahaanku mengadakan acara liburan untuk karyawan,
acara ini selalu rutin dilakukan untuk menambah gairah kerja para
karyawanku. Karena aku boss di perusahaan tersebut aku harus ikut,
sedangkan istriku pada saat itu sedang ada halangan katanya sih ada
urusan keluarga. Jadi aku memutuskan untuk pergi sendiri.
Aku mempunyai sekretaris Sari namanya, aku merasa bahwa aku harus
memilikinya. Kalau di kantor dia selalu mencoba bertingkah genit dari
kerling matanya itu atau dari caranya berpakaian, dari situ aku tahu
kalau dia suka padaku. Seperti biasanya aku pulang memang agak sore,
Sari sudah gelisah ingin pamit pulang tapi aku masih saja berkutat
dengan laporanku.
“Sari kalo udah mau pulang duluan aja, nggak pa-pa kok, sekarang udah
jam 5 lewat 20, entar ketinggalan kereta lho lagian udah mendung kalo
hujan kan entar kebasahan”, kataku sambil tersenyum.
“Iya Pak”, sambil berkemas dan secara tidak sengaja pulpennya jatuh dan
dia memungutnya, otomatis dari posisi duduk dia berputar, roknya
tersingkap dan secara tidak sengaja aku melihatnya, wah memang benar
terawat sampai ke ujung pahanya begitu pula dengan dengan segitiganya
yang berwarna putih. Sambil memungut pulpen dia nunduk dan serta merta
dia menutup bajunya yang otomatis terlihat kalau nunduk.
“Sar, lain kali pake bajunya yang ketutup aja biar nggak repot”, kataku.
“Nggak enak Pak, saya justru nggak seneng pake baju yang kerahnya
terlalu tertutup”, katanya sambil tersenyum, karena dia tahu maksudku
ngomong seperti itu. Tak lama kemudian Sari pergi, dan aku terus
bekerja.
Sari memang betul-betul merupakan wanita ideal di benakku. Ia bertubuh
tinggi, dengan pinggul yang indah dan pantat menjungkit seperti penari
Bali. Aku ingat pengalaman pertama bercinta dengannya. Dan kesempatan
pun tiba pada acara tahunan tersebut, saat acara sudah hampir selesai,
kuajak Sari keluar dari ruangan itu.
“Sar, temenin Bapak keluar jalan-jalan yuk?” Ajakku.
“Iya Pak, Sari juga sudah sumpek di sini sejak tadi sore”, jawab Sari.
Kita pun keluar dengan mobilku, tak terasa sudah jam 1.00 malam. Kita pun kembali ke Villa perusahaan.
Setelah sampai, aku memberanikan diri menggandeng seketarisku yang genit
itu, kita menyusuri lorong kamar-kamar karyawan. Dan akhirnya tiba di
depan pintu kamar Sari.
“Pak, malam ini mau nggak bapak nemanin saya.. soalnya Sari takut kalau tidur sendirian”, kata Sari.
“Tapi kamu kan bisa minta ditemanin sama karyawan cewek yang lain”,
jawabku, tapi dalam hatiku berharap agar Sari memaksaku untuk
menemaninya malam ini, yang sebenarnya sangat kuharap-harapkan.
“Mana ada yang mau Pak? Orang sudah pada tidur semua, lagipula mereka kan sudah ada yang menemani malam ini”, desak Sari.
Memang sih pada acara tahunan kali ini karyawan perempuan yang masih
single dan ikut ke acara tersebut hanya Sari, sedangkan karyawan yang
lain sudah membawa pasangannya sendiri-sendiri.
“Tapi nanti jam 7.00 pagi kamu bangunin Bapak yah. Soalnya kalau
ketahuan karyawan yang lain kan nggak enak kita, apalagi bapak kan
atasan mereka”, jawabku.
Akupun masuk mengikuti Sari, tapi sebelumnya aku minta izin pada Sari
untuk ganti baju tidur dulu di kamarku. Pertama kali sangat canggung dan
hanya berbincang-bincang saja di kamar. Ketika tiba saat untuk tidur,
aku bermaksud tidur di sofa. Aku merasa harus menghargainya, toh kami
belum menikah. Namun ia menarikku ke tempat tidur.
“Kita tidur pelukan boleh kan Pak, asal nggak lebih dari itu”, katanya manja.
Aku menuruti kemauannya dengan kikuk. Beberapa menit kami berbaring diam
dalam satu selimut. Sari hanya mengenakan t-shirt tipis dan kain
sarung, begitu juga aku. Saat kulit kami bersentuhan, jantungku
berdesir. Tanpa terasa pipi kami saling menempel. Udara dingin membuat
ia mengetatkan pelukannya dan akhirnya bibir kami saling berpagut.
Awalnya sangat canggung, namun tak lama gerakan kami menjadi lebih luwes
dan lidah kami pun saling bergulung. Ciuman yang ketat membuatku
kehilangan kendali, lalu tanganku menjadi liar meraba ke payudaranya.
Nafas Sari pun semakin memburu.
Lalu aku berusaha melucuti t-shirtnya. Sari tidak menolak, bahkan
tangannya juga berusaha melucuti bajuku. Dengan satu sentakan kutarik
BH-nya sehingga kulihat tubuhnya yang indah itu hanya berbalut celana
dalam tipis. Aku menikmati beberapa saat pemandangan itu, Sari yang
berbaring telentang, dengan pandangan mata yang sulit kulupakan. Lalu
kucium lagi bibirnya perlahan. Sari mengerang perlahan, “Ooohhh..”,
bibirnya setengah terbuka dan basah sangat membuatku terangsang. Lalu
tanganku mulai bermain di payudaranya, membuat ia makin menggelinjang.
Ketika tanganku kuturunkan hingga mencapai gundukan kewanitaannya dan
bibirku meluncur mengulum puting susunya, tiba-tiba ia mendorongku
dengan keras. Lalu tangannya bergerak cepat menarik celanaku sambil
berdesah, “Pak, buka celananya..” Dengan satu gerakan aku melepas celana
dalam, dan ia melakukan hal yang sama. Kini dapat kulihat tubuh indah
itu tanpa penghalang apapun.
Sari menarikku ke dalam pelukannya dan kami kembali bercumbu dengan
hangatnya. Aku menyisir seluruh tubuhnya dengan bibirku. Mulai dari
ubun-ubunnya, turun ke bibirnya, lalu ke lehernya yang jenjang. Sari
berbaring telentang dengan kedua pahanya yang putih dibuka lebar,
sementara aku menindih dan mengulum bibir dan lehernya, batang
kemaluanku yang telah keras dan liang senggamanya yang terasa basah
tanpa sengaja bersentuhan. Betapa nikmatnya. Lalu aku mulai menyisir ke
payudaranya dan mulai mengulum puting payudaranya yang mengeras. Aku
jilati puting susunya dan melingkari areolanya, membuat Sari
menggelinjang dengan hebat sambil merintih keras, “Aduh.. nikmat.. Pak..
teruss.. ooohh..” Karena posisiku agak merendah ke bawah maka aku dapat
merasakan kehangatan liang kewanitaannya yang basah di perutku.
Sari terus merintih sambil sesekali pahanya yang jenjang menghentak naik
turun di atas pinggangku, sementara pelukannya semakin erat. Lalu ia
menarik tubuhku ke atas hingga bibir kami kembali berpagut. Sambil
tersengal ia mendesah dengan penuh birahi, “Pak, Sari pingin disentuh
dengan punya bapak..” Aku mengerti yang ia inginkan. Aku lalu mulai
menggesek-gesekkan batang kemaluanku ke liang kenikmatannya. Liang
senggamanya terasa makin membanjir dan terbuka. Aku terus menggesek dan
menyibak labia mayoranya dan merasakan klitorisnya yang semakin
membengkak. Sari menggoyangkan pinggulnya dengan kencang sambil
merintih, “Teruus.. Pak.. nik.. matt…, ooohhh..” Tangannya memeluk
kencang di bahuku dan kukunya membenam di kulitku hingga membuatku
sedikit perih. Namun rasa perih itu terkalahkan oleh buaian kenikmatan
yang luar biasa. Gerakan itu semakin kencang dan aku sudah tidak tahan
untuk segera memasuki tubuhnya.
Aku berhenti menggesek klitorisnya dan mulai mencari jalan untuk
memasuki lubang kemaluannya yang sudah banjir oleh cairan kewanitaannya.
Aku menatap Sari sebentar dan menemukan hasrat yang sama di matanya.
Dengan perlahan tangannya membimbingku memasuki lubang kenikmatannya.
Dengan satu dorongan pelan aku mulai memasuki tubuhnya, sedikit demi
sedikit. Aku tahu ia sedikit kesakitan, karena ini pertama kali baginya,
namun kebasahannya sangat membantu batang kemaluanku menemukan
jalannya. Ketika batang kemaluanku hampir separuh masuk dalam liang
kenikmatannya, tangannya memelukku dengan amat keras dan tubuhnya
bergetar hebat. Aku merasakan cairan lebih banyak lagi membanjiri
kemaluannya dan dengan satu dorongan aku menusuk hingga bagian terdalam
dari kemaluannya. Tubuhnya menggigil dan mulutnya meracau, “Eeeenak..
Pak.. ooohh.. tekan yang.. dalaam.. ooohh..” ketika aku mulai
menggerakkan batang kemaluanku naik turun. Pada setiap gerakan menusuk
aku menekan dengan begitu dalam. Sari menggoyangkan pinggulnya, kedua
kakinya menjepit pinggulku begitu keras.
Aku akhirnya tak tahan lagi dan merasa sudah hampir tiba waktunya. Pada
gerakanku yang terakhir, aku merasakan seluruh tubuhnya menggeletar,
menyambut spermaku yang memenuhi rongga kewanitaannya saat ejakulasi.
Kukunya makin dalam terbenam di punggungku dalam satu pelukan yang ketat
dan tubuh kami sama-sama menggeletar. Untuk beberapa saat hanya
kenikmatan tiada tara yang kami rasakan dan entah berapa lama kami terus
berpelukan menikmati keindahan itu dengan mata terpejam, dengan batang
kemaluanku tetap kubiarkan di dalam liang kenikmatannya. Ketika
getar-getar keindahan itu akhirnya harus berakhir, aku membuka mata dan
melihat Sari yang masih tetap terpejam dengan wajahnya yang penuh
keringat. Betapa cantiknya melihat dia dalam keadaan sesudah orgasme.
Lalu ia membuka matanya dan tersenyum lembut melihatku sedang
memandanginya. Kucium lembut bibirnya dan kami berbaring berpelukan.
Kami tahu malam masih panjang dan kami tak akan menyia-nyiakan
kesempatan indah itu untuk menikmatinya bersama-sama.
Itulah kisah perselingkuhanku dengan Sari, sekretarisku yang cantik dan
genit dan acara kucing-kucingan itu berlangsung hingga kini.
Setelah acara selesai aku pulang ke rumah dan mendengar suara atau
hal-hal yang tidak enak dari para tetangga tentang istriku. Tapi aku
saat itu belum mau percaya begitu saja dengan cerita jelek yang beredar
di daerahku itu, sampai sahabatku sendiri yang mengatakannya padaku.
Barulah aku mempercayai cerita tersebut.
Selama tiga hari aku tidak mau bicara dengan istriku, sikapnya padaku
yang kurasakan sepertinya agak beda semenjak aku datang dari acara
tahunan yang diadakan perusahaanku itu.
“Yang.. kamu kenapa sih?” kenapa kamu diam saja.. kenapa kamu diamkan
aku? Apa salahku?” Tanya Yenni, istriku pura-pura tidak mengerti duduk
persoalannya.
Ditanya seperti itu aku masih tetap diam tidak mau bicara, sikap Yenni
semakin merajuk saja. Dia mencoba untuk melemahkan emosi jiwaku, Yenni
memang paling pandai dalam hal menundukkan emosiku. Sehingga aku selalu
saja kalah olehnya, apakah karena aku terlalu mencintainya? sehingga
diriku begitu lemah terhadapnya.
“Jika Yayang selalu diam begini, aku sebaiknya pergi saja dari rumah
ini! Percuma punya suami juga, selalu mendiamkan aku tanpa tahu
persoalannya!” kata Yenni dengan suara yang ketus dan tajam. Aku kaget
dengan kata-katanya itu, maka kutarik lengannya ketika dia hendak
melangkah keluar.
“Katakan! Siapa lelaki yang pernah ke mari sewaktu aku sedang di luar
kota kemarin?!” tanyaku sambil mencengkeram lengannya lebih erat lagi.
“Siapa yang Yayang maksud? Aku benar-benar tidak mengerti?” ujarnya mencoba mengelak.
“Jangan pura-pura lagi, Yenni! Aku sudah tahu semuanya. Sewaktu aku tidak ada, rumah ini kedatangan tamu kan?” gertakku.
“Memang benar Yang, Tapi mereka itu teman Mamaku. Lagi pula, nggak
mungkin aku berani mengkhianati kamu Yang!” ujar Yenni sambil matanya
melotot tajam ke arahku.
“Kamu berani untuk di sumpah?” tanyaku lagi.
“Aku berani di sumpah dengan cara apa saja, Yang! Karena aku tidak merasa bersalah!”
Kata-katanya cukup tandas dan tajam. Dia seolah-olah tidak menerima
kutuduh begitu, aku sendiri akhirnya tidak bisa berbuat banyak. Karena
menuduh tanpa bukti itu sama halnya dengan memfitnah, lagi pula setelah
aku pikir apapun yang dilakukan istriku ini tidak mungkin kalau Yenni
berani berbuat seperti itu kecuali semua ini memang kelakuan dari
mertuaku itu. Apalagi saat itu Yenni menangis pilu dan aku merasa tidak
tega melihatnya sebab bagaimanapun juga aku masih begitu mencintainya.
“Maafkan aku Sayang. Aku telah menuduh yang tidak-tidak padamu, aku
percaya kok kalau kamu masih mencintaiku dan setia padaku”, Kataku
sambil memeluk tubuh istriku dengan lembut dan mesra. Dan suasana yang
tadinya tegang telah berubah menjadi suasana yang begitu romantis,
apalagi aku sudah lama tidak merasakan cumbuan permainannya, dan saat
itu Yenni istriku begitu erat mendekapku seakan tidak mau terpisah
dariku lagi. Kurebahkan tubuh istriku di atas ranjang, kubiarkan dia
terbaring dengan bebas.
Aku berdiri sejenak memandanginya, ada getar aneh menjalari sekujur
tubuhku saat itu. Yenni tersenyum penuh arti padaku, dia memang mengerti
apa yang aku butuhkan saat ini. Benar-benar menggairahkan dan penuh
daya tarik tersendiri tubuh istriku. Ia begitu menantang dan pasrah.
Buah dadanya yang masih dilapisi gaun tidur itu membusung, laksana bukit
salju yang lembut, kulitnya bersih dan mulus. Pinggulnya padat dan
berisi. Kedua pahanya juga putih, laksana kain sutra kalau di sentuh.
Segera saja aku melepaskan semua pakaianku dan langsung naik ke atas
ranjang. Rasanya saat itu kami seperti berada di malam pengantin saja,
begitu mesra dan romantis.
Kemudian aku duduk di pinggir kasur sambil mendekap tubuh istriku.
Sungguh lembut tubuh mungil istriku. Kupeluk dengan gemas sambil kulumat
mesra bibir ranumnya. Tanganku meraba seluruh tubuhnya. Sambil memegang
puting susunya, kuremas-remas buah dada yang kenyal itu. Kuusap-usap
dan kuremas-remas. Nafsuku terangsang semakin hebat. Batang kemaluanku
menyentuh pinggang istriku. Kudekatkan batang kemaluanku ke tangan
istriku. Digenggamnya batang kemaluanku erat-erat lalu diusap-usapnya.
Tanganku terus mengusap perutnya hingga ke celah selangkangannya. Terasa
berlendir basah di kemaluannya. Aku beralih dengan posisi 69.
Aku mulai mendekap tubuhnya sehingga seluruh badannya menekan tubuhku,
dan Yenni mengarahkan liang kewanitaannya yang terbuka ke wajahku. Dapat
kulihat liang kewanitaannya yang kemerahan yang tidak dihiasi oleh
sehelai bulupun, bersih. Yenni menaikkan pantatnya sedikit, sehingga
makin jelas terlihat liang kewanitaannya, aku tahu maksudnya dengan
perlahan kutempelkan wajahku ke liang kewanitaannya, kuciumi bibir
luarnya, dia sedikit menggelinjang tapi tetap menghisap dan menjilat
batang kemaluanku, dapat kuhirup aroma yang keluar dari liang
kewanitaannya tersebut bau yang khas.
Aku jilati seputar bibir luarnya, Yenni semakin melengkungkan tubuhnya
ke belakang, sehingga terbenamlah wajahku di liang kewanitaannya. Aku
mengatur nafas, kubuka bibir luarnya dengan jari tanganku, kumasukkan
lidahku ke dalam liang kewanitaannya dan kumainkan lidahku di dalamnya,
Yenni menggelinjang kuat, “Eeeggghh.. shhh.. aaachh.. terusin Yang”.
Kukecup dan kutarik klitorisnya dengan lidah dan bibirku, dapat
kurasakan cairan wanitanya sudah mulai membasahi liang kewanitaannya,
Yenni mengejang saat kuhisap liang kewanitaannya yang sudah basah.
Kujilat bibir kemaluannya dan kupilin-pilin klitorisnya.
“Ohhh.. arggghh.. ohhh.. terusin Yang.. ohhh.. arggghh”. Dan aku
merasakan batang kemaluanku digigit dengan kedua bibirnya. “Eeggghh..
sshhh… Sayang”. Aku pun menggeliat, Yenni melepaskan batang kemaluanku
dari mulutnya, mengangkat dan memutar badannya, menciumi bibirku dengan
panas dan nafas terengah-engah.
Kemudian Yenni jongkok menghadapku persis di atas batang kemaluanku yang
terlihat mengkilap basah, dipegangnya batang kemaluanku dan Yenni mulai
menurunkan posisi jongkoknya dengan menuntun batang kemaluanku masuk
perlahan ke dalam liang kewanitaannya, “Bleesss..” “Aaahhh.. ggghh!”
kami berdua bersamaan mengerang. Yenni mulai menggerakkan pinggulnya
naik turun, liang kewanitaannya sangat banyak berair, sampai berbunyi,
“Plok.. plok.. cipak.. plok..” sesekali dia menggelinjang dan meletakkan
tangannya ke belakang memegang kedua pahaku, diputarnya pinggulnya ke
kiri dan ke kanan, kali ini giliranku yang menggeliat, kutarik tangannya
ke bawah sehingga dia terkelungkup kuciumi bibirnya dengan hangat Yenni
membalas, kupeluk badannya dan Yenni sekali lagi memutar-mutar
pinggulnya.
“Shhh.. gghhh..” aku kembali mengerang. “Enak, Yang..” bisiknya. Aku tak
menjawab dan langsung kuciumi bibirnya sementara tanganku mencoba untuk
melepaskan gaun tidurnya, Yenni membantuku, dia bangun dan
melepaskannya. Kulihat payudaranya, aku mulai merabanya, meremasnya,
kuhisap puting payudara kanannya. ” Ohhh.. arghah.. aaah.. ahhh.. oh
Yang terusin.. ohhh.. aghhh..” Yenni mendesah dan mempercepat gerakan
pinggulnya naik turun kiri kanan. Puting payudaranya yang merekah itu
kujilat berulangkali sambil kugigit perlahan-lahan. Puting susunya
terlihat berair karena liur hisapanku tadi. Kuperkuat remasanku di
payudaranya, Yenni merebahkan badannya dengan tetap menggerakkan
pinggulnya dan kubalas dengan gerakan menusuk dari bawah.
“Aaahh.. Yang.. terusin, Yang.. shshsh…” desah Yenni menggeliat. Aku tak
peduli, kujilati dan kugigit putingnya yang sudah dekat dengan wajahku,
Yenni kembali mendesah dengan cepat mengikuti irama goyangan pinggulnya
dan tusukan batang kemaluanku, “Aaahhh… ahhh… eeghh…” Aku merasakan ada
sesuatu yang siap keluar dari dalam batang kemaluanku, kupercepat
gerakan batang kemaluanku dalam liang kewanitaannya, badan Yenni mulai
mengejang kuat seiring kubangunkan badannya sambil meremas kedua
payudaranya. Yenni juga mempercepat gerakan pinggulnya, sementara aku
merasakan bahwa air maniku sudah tak tertahankan lagi, dengan hitungan
sepersekian detik, kulepaskan batang kemaluanku dari dalam liang
kewanitaannya. Yenni kaget dan keluarlah cipratan pertama yang diiringi
oleh luberan air maniku yang selama hampir dua minggu kupendam.
Yenni terperangah, kemudian dia mencubit perutku.
“Kok, nggak bilang-bilang?!” aku tersenyum malu, kemudian dia menguatkan cubitannya.
“Aku kan juga hampir sampai, kenapa nggak dikeluarin di dalam aja?” dengan tampang innocent.
Aku meringis menahan sakit, “Sorry Yang katanya kamu lagi KB…” jawabku
enteng sambil membersihkan sisa-sisa air mani dari tubuhku.
Yenni mulai memperlihatkan cemberutnya ketika dia melihat juniorku yang
lunglai. Aku melirik ke arah jam dinding dan tersenyum sambil merebahkan
kepalaku ke bantal yang empuk, Yenni keheranan tapi kembali cemberut.
“Curang.. mentang-mentang udah enak trus nyantai gitu, aku gimana dong?
masih tanggung nih!” dengan nada kesal-kesal manja. Kemudian kutarik
badannya untuk rebahan di sebelahku. Kuambil tangannya lalu kebelaikan
perlahan di sekitar daerah batang kemaluanku, mulai dari paha, memutar
ke bagian bawah perut sambil memainkan bulu kemaluanku, ke paha
sebelahnya, kemudian kedua biji pelirku, batang kemaluanku dan balik
lagi ke paha yang pertama. Yenni heran tapi setelah dua kali kuulang
kulepas tanganku dan dia mulai memainkan tangannya sendiri mengikuti
gerakan yang baru saja kuajarkan.
Tak beberapa lama batang kemaluanku mulai bergerak dan semakin halus
gerakan tangan Yenni, batang kemaluanku juga semakin menegang. Yenni
melemparkan senyum nakalnya padaku, aku balas senyumannya dan Yenni
terlihat kembali bersemangat ketika melihat batang kemaluanku sudah
berdiri tegak, dia bangkit dari rebahannya dan mulai menggenggam batang
kemaluanku, diusap-usapnya perlahan dan semakin lama semakin kuat.
“Cihuuii!” teriakan kecilnya membuatku tertawa.
Yenni mulai bangun dan bersiap untuk menaiki tubuhku lagi, tetapi aku
cepat-cepat menghadangnya dengan membangunkan badanku dan menghempaskan
tubuhnya ke kasur, Yenni kembali keheranan tapi tak lama kemudian ia
tersenyum begitu aku meregangkan kedua kakinya dan mulai meraba daerah
liang kewanitaannya yang tak dihiasi selembar bulu. “Sudah siap ronde
kedua?” tanyaku sambil mengambil posisi di hadapannya, belum sempat
Yenni menganggukkan kepalanya, kepala batang kemaluanku sudah menusuk
liang kewanitaannya “Eghkhkshsh..!” Yenni mendesah berat dan badannya
menggelinjang hebat. Kubenamkan terus batang kemaluanku sampai habis ke
dalam liang kewanitaannya, Yenni terus menggelinjang. “Shshsh..
terushin.. Yang..” desahnya. Kutarik batang kemaluanku keluar sampai
habis dan kubenamkan lagi ke dalam liang kewanitaannya dengan cepat,
Yenni terbelalak, “Aakkkhh…” kali ini suaranya tak tertahankan.
Sayup-sayup kudengar suara wanita cekikikan dari luar kamar tapi tak
kuperdulikan. Kembali kutarik batang kemaluanku dan kubenamkan lagi,
lalu kukocokkan batang kemaluanku keluar masuk di dalam liang
kewanitaannya yang mulai melebar dan basah, nafas Yenni mulai
terengah-engah mengikuti gerakan batang kemaluanku. “Enaak.. lagii..
masukin semuaa.. tekan dong.. bagian kiri yang ditekan… aahh… laaggii..
tekann.. ahh…” dengan mata merem melek keasyikan, selang beberapa lama
kutarik batang kemaluanku keluar dan kuangkat kedua kakinya ke atas dan
kusandarkan di dadaku, Yenni membuka matanya yang terpejam. Belum sempat
ia berpikir, kembali kubenamkan batang kemaluanku ke dalam liang
kewanitaannya yang menyempit.
“Aaakkhh.. shhh…” aku menyeringai sementara Yenni mendesiskan nafasnya
seperti menahan sakit, tapi tak lama nafasnya kembali terengah seiring
kocokan batang kemaluanku dalam liang kewanitaannya. Kembali kudengar
suara wanita cekikikan, tapi aku tetap tak perduli. Aku masih tetap
mempertahankan irama kocokan batang kemaluanku, tak beberapa lama
kupalingkan penglihatankan ke jendela kamar yang mengarah ke balkon
luar, walau tertutup tirai tapi aku dapat melihat bayangan kepala orang
di luar sana. Aku terkaget. “Gila! ternyata permainan seks-ku dengan
Yenni diintip mertuaku sendiri”, pikirku dalam hati. Perasaan kaget coba
kuhilangkan dengan menarik batang kemaluanku dan membalikkan badan
Yenni yang mulai terasa berat kelelahan.
Aku bangun dari tempat tidur dan kutarik pinggulnya ke atas, Yenni
menolehkan kepalanya ke belakang, aku meraba liang kewanitaannya yang
sudah sangat basah, dia melemparkan senyum malasnya, tak lama kutuntun
batang kemaluanku ke liang kewanitaannya melalui daerah bokongnya yang
tak begitu besar. Setelah merasakan pas di depan lubang kenikmatannya
tanpa permisi kubenamkan batang kemaluanku dalam-dalam sampai habis tak
terlihat. “Eenggkk.. ssshh.. aakhkh !” kami sama-sama mendesah. Badan
Yenni kembali menggelinjang hebat dan nyaris melepaskan batang
kemaluanku dari dalam liang kewanitaannya, kutahan pinggulnya dengan
kedua tanganku, kupegang erat pinggulnya, dan tak lama kukocok batang
kemaluanku di dalam liang kewanitaannya keluar masuk, terdengar suara
yang khas ketika bokongnya beradu dengan perutku. Aku semakin menikmati
permainan ini.
“Akh.. egkh.. sshsh.. aagkh..” nafas kami bersahutan mengikuti irama
kocokan batang kemaluanku, tapi suara Yenni mulai mengeras “Eeggh..
.Aaakkkh.. teerrus Yang.. teerruss…” kupercepat kocokan batang
kemaluanku sehingga menimbulkan suara gesekan perut dan bokong yang
semakin cepat. Tak lama kemudian Yenni mendesah panjang, “Ssshh..
aaakkhh.. eegghhm.. ohhh.. augh.. Yang.. Yenni mau keeellluuaarrr…”.
Tiba-tiba liang kewanitaannya seperti menghisap-hisap batang kemaluanku
dan akhirnya, “Crooottt.. crotttt.. crotttt.. crot” aku bisa merasakan
klimaksnya tapi aku tetap menusukkan batang kemaluanku ke dalam liang
kewanitaannya. Tangan Yenni kelihatan sudah tidak dapat menahan
badannya, kepalanya jatuh lunglai sesaat, dia menoleh ke belakang
menatapku dan tersenyum manis seakan memberi tanda kepuasan. Kubalas
senyumnya dan kuperlambat gerakan batang kemaluanku dan Yenni mengikuti
gerakan batang kemaluanku dengan memutarkan pinggulnya ke kiri dan ke
kanan.
“Uuugh… eegkh…” aku menyeringai, batang kemaluanku terasa sedikit ngilu.
“Kenapa, enak ya?” candanya sambil terus memutar pinggulnya perlahan
sementara batang kemaluanku yang masih tertancap dalam liang senggamanya
yang sangat basah. “Uugghmm.. sshhshh.. aaakgh..” Yenni mendesah
keenakan menikmati permainannya sendiri. Rupanya ia ingin menikmati
klimaksnya lebih lama dengan memutar-mutar batang kemaluanku di dalam
liang kenikmatannya yang sedikit melebar dan basah. Lalu kukecup
bibirnya, ia pun membalasnya sambil berbisik, “Kamu hebat deh Yang…”
Senyum manis menghiasi wajahnya yang bersemu merah, pertanda ia telah
mengalami orgasme yang hebat. Kami pun tidur berdekapan sampai pagi.
Begitulah, kami sebenarnya hidup dalam rumah tangga yang rukun dan
romantis. Namun karena pengaruh ibunya Yenni (mertuaku red) cukup besar,
maka rumah tangga kami sering goncang. Aku mencoba untuk dapat
mempertahankan dan mengendalikan mahligai rumah tanggaku, berkali-kali
aku bisa menyelamatkannya. Namun terpaan badai yang dihembuskan ibu
mertuaku semakin kuat saja, sehingga aku tidak mampu lagi untuk
menahannya. Akhirnya Yenni mengajukan gugatan cerai padaku.
Setelah menjalani sidang perceraianku dengan istriku yang berjalan
begitu lama, karena memang aku masih mencintainya dan berharap Yenni
kembali ke pelukanku. Tapi apa dayaku karena kenyataannya tidak seperti
yang kuharapkan, setelah pembagian harta gono-gini. Aku sekarang
sebatang kara dalam mengarungi hidup ini, setelah Yenni yang selama ini
menjadi istriku telah tiada lagi di sisiku.